Saat Panembahan Senopati bertahta di Mataram, banyak pemimpin daerah
yang membangkang, menolak mengakui hegemoni Mataram. Salah satunya
adalah Ki Ageng Mangir yang memimpin tanah Perdikan Mangir di tepi
Sungai Progo (sekarang masuk kecamatan Srandakan, Bantul). Ini seakan
menjadi bisul bagi Panembahan Senopati yang telah bertekad menguasai
sepenuhnya Mataram.
Maka Panembahan Senopati bermaksud melakukan duel untuk menentukan
siapakah yg paling berhak berkuasa di Mataram. Penyelesaian khas
laki-laki. Panembahan Senopati yang seorang raja ‘tulen’, naik tahta
bukan karena hadiah tapi karena memang punya daya linuwih, tak ragu
untuk bertarung dengan Ki Ageng Mangir yang juga digdaya. Tombak Kiai
Baru Klinthing dan pengaruh Ki Ageng Mangir yang kuat di Mangiran begitu
membuat hasrat bertarung Sang Raja menggebu-gebu.
Tapi Sang Patih, Ki Juru Martani berpendapat lain. Ki Ageng Mangir
dianggapnya bukan level Panembahan Senopati. Kalaupun Panembahan
Senopati menang, itu hal yang lumrah saja. Bukankah Panembahan Senopati
memang seorang raja? Lalu bagaimana kalau sampai kalah? Taruhannya
terlalu besar. Menang ora kondhang, kalah dadi wirang. Ki Juru Martani menawarkan jalan yg lebih halus, sedikit berliku, tapi licik.
Maka digelarlah suatu operasi intelijen, Sekar Pembayun-putri Sang
Raja-menyamar menjadi penari keliling/ledhek. Misi operasi ini adalah
“temukan rahasia kesaktian Ki Ageng Mangir dan musnahkan!”
Dan sebagaimana yang kemudian tercatat dalam cerita-cerita,
terpesonalah Ki Ageng Mangir pada Sekar Pembayun. Merekapun menikah. Dan
betapa terpukulnya ketika Ki Ageng Mangir mendengar pengakuan Sekar
Pembayun, bahwa dia tak lain adalah anak Panembahan Senopati, musuh
bebuyutannya. Apa boleh buat, janji perkawinan telah diucapkan,
pertalian darah telah ditorehkan. Kini dia menjadi menantu dari
musuhnya.
Atas bujukan Pembayun, Ki Ageng Mangir menghadap Panembahan Senopati.
Sepanjang perjalanan, kebimbangan menggelayut di benak Ki Ageng Mangir.
Panembahan Senopati telah menjadi mertuanya. Tetapi dirinya selama ini
mengambil posisi berseberangan dengan raja Mataram itu. Apakah dia akan
diterima sebagai menantu ataukah musuh? Seakan Ki Ageng Mangir telah
mencium takdir yang menantinya di singgasana Sang Raja.
Maka bertemulah dua seteru yg telah terikat pertalian darah ini.
Sebagai menantu yang baik, Ki Ageng Mangir telah melepas seluruh senjata
yang dibawanya. Ternyata benar kata Pembayun, Sang Raja menerima
menantunya dengan ramah dan kasih sayang. Maka dia mengambil posisi
bersimpuh dan bersiap menyembah kepada Panembahan Senopati sebagai tanda
penghormatan. Hening. Helaan nafas seperti tertahan dalam kilatan waktu
yang tiba-tiba melambat seperti berbulan-bulan lamanya.
Ketika kepala Ki Ageng Mangir hampir menyentuh lantai, secara
tiba-tiba Panembahan Senopati dengan gerakan tak terduga meraih dan
membenturkannya ke Watu Gilang yang menjadi singgasananya. Sebuah dendam
politik dituntaskan. Tewaslah Ki Ageng Mangir di tangan sang mertua
seiring lengking tangis Ratu Pembayun.
Apakah Pembayun benar-benar mencintai Ki Ageng Mangir?
Apakah yang ada dalam pikiran Panembahan Senopati saat melihat kepala Ki Ageng Mangir begitu dekat dengan singgasananya?
Sejarah tak pernah mencatat dengan baik hal-hal yang ada pada level
perasaan seperti itu. Tapi cerita tentang kekuasaan memang sulit
dihindarkan dari pengorbanan.
***
Makam Ki Ageng Mangir sendiri dibuat separuh di dalam pagar kompleks
makam dan separuhnya lagi di luar pagar. Sungguh suatu perlambang
ambigu: separuh musuh separuh keluarga. Tapi juga mencerminkan sisi
kelam jiwa manusia yang memiliki dendam begitu besar, bahkan setelah
musuhnya mati.
PERANG RANTAI EMAS
Ketika terjadi tragedi berdarah antara Kerajaan Majapahit dan Demak
sekitar th. 1478 M, dan pihak Majapahit yang mengalami kekalahan, maka
keluarga besar Brawijaya V saling melarikan diri untuk meneyelamatkan
jiwanya dari kejaran prajurit demak, dan salah satunya gugur putra
menantunya yaitu Joko Sengoro. Salah satu anaknya adalah Joko Balut
yang melarikan diri ke arah Barat sampai menetap di Gunung Kidul.
Barangkali dan kemungkinan Joko Balutlah yang mungkin membawa salah satu
pusaka kerajaan yang bernama Baru Klinting yang cukup ampuh dan tinggi
daya supranaturalnya serta ujung tombaknya yang mengandung racun yang
sangat berbisa. Pada saat tinggal di Gunung Kidul ia mempunyai keturunan
yang bernama Angabaya I. Setelah Panembahan senopati berkuasa di
Mataram sekitar Th. 1579 M, ada dua gerakan separatis yang satu
dipimpimpin oleh Ki Gede Wanakusuma yang berkuasa di Tlatah Giring dan
sebelah Barat dipimpin oleh Angabaya III. Untuk menumpas pembrontak dari
Ki Gede Wanakusuma Panembahan Senopati ibarat berlayar sekali mengayuh
mendapat dua pulau, yaitu bisa membunuh Wanakusuma, bekas kakak iparnya
dan membunuh mantan istrinya yaitu rara lembayung yang melaggar sumpah.
Konon demi wahyu keraton saat Panembahan Senopati belum menjadi raja
masih bernama Danang sutawijaya ia memperistri Rara lembayung. Berhubung
rara Lembayung wajahnya tidak cantik maka dicerai oleh Panembahan
Senopati dalam keadaan hamil. Keduanya antara Lembayung dan Wanakusuma
adalah sama sama putra dari Kiageng Giring III, atau Raden Mas
Kertanadi. Panembahan Senopati memberi wasiat pada istrinya bila kelak
jabang bayi lahir jangan sampai memberitahu siapa ayahnya, dengan
meninggalkan sebilah keris tanpa sarung. Hal ini disanggupi oleh Rara
Lembayung. Namun apa boleh buat setelah bayi lahir laki laki dan diberi
nama Joko Umbaran dalam usia 20 tahun ia mendesak pada ibunya terus
menerus untuk memberitahu siapa ayahnya. Singkat cerita setelah
ditunjukan ayahnya, lalu ia mencari ayah dengan melalui perjuangan yang
sangat berat. Setelah bertemu dengan ayahnya, Panembahan Senopati
bersedia menerima sebagai anak asal bisa mencari sarung keris yang
dibawa oleh Joko Umbaran atas pemberian dari ibunya yang bernama kayu
purwosari. Hal ini adalah perintah sibolis yang artinya Joko Umbaran
harus bisa membunuh Wanakusuma dan ibunya rara lembayung, yang
melanggar janji.
Setelah berhasil Joko Umbara diakui sebagai anak dan diberi kedudukan
oleh Panembahan Senopati sebagai Senopati Perang Mataram dan bergelar
Pangeran Purboyo.
Lain halnya dengan Panembahan Senopati dalam hal menumpas pembrontakan
yang dipimpin oleh Angabaya III menggunakan taktik PERANG RANTAI EMAS.
Alasan menggunakan Perang Rantai Emas ada 3 macam yaitu :
1. Apabila diserang menggunakan secara militer secara be-
sar besaran akan menghabiskan keuangan Mataram.
2. Apabila diserang secara militer secara besar besaran
akan jatuh korban yang cukup banyak, karena Angaba
ya III adalah musuh yang sulit untuk ditumpas.
3. Kalau diserang secara prajurit secara besar besaran
Angabaya III bukan levelnya.
Angabaya III bukan levelnya ( isitilah jawa Menang
ora kondang kalah wirang ).
Setelah pertempuran menggunakan perang rantai emas melalui jebakan
perkawinan yang sukses antara Dewi Pembayun ( Dewi Retningrum ) dan
Angabaya III, maka terkejutlah Angabaya III setelah tahu istri yang
sedang mengandung adalah anak musuh bebuyutannya, dan diajak sowan ke
Mataram.
Namun apadaya Angabaya III ibarat orang yang memakan buah Simala Kama,
dimakan akan menemui nasib yang tragis dan tidak dimakanpun Angabaya III
dalam perkawinannya dengan Pembayun sudah dukepung dengan prajurit
pendem dari Mataram.
Dengan keberangkatannya Angabaya III dan Istri serta diiringi beberapa
prajurit menuju Mataram diiringi tangis dan air mata oleh keluarga dan
kerabatnya serta diberi nasehat agar berhati hati apabila sudah tiba di
Mataram.
Memang telah menjadi kenyataan setelah tiba di luar keraton Angabaya
III sudah dihadang oleh prajurit Mataram yang dipimpin oleh salah
seorang Tumenggung yang sama sama ingin memperistri Dewi Pembayun.
Dasar Angabaya III seorang berjiwa prajurit orangnya cakap, ahli ilmu
kanuragan dan mungkin punya ilmu kekebalan tubuh, maka terjadilah
pertempuran yang tidak seimabang. Angabaya III berhadapan dengan seorang
Tumenggung yang memimpin
pertempuran dan Tumenggung tersebut mati ditangan Angabaya III. Dengan
luka yang sangat parah dan berjalan sempoyongan Angabaya III menjatuhkan
diri dihadapan Sang Mertua Panembahan Senopati. Persoalan ia mati
dibenturkan kepalanya di watu Gilang atau dengan cara lain itu
walauhualam.
Tapi ada cerita lain dimana Panembahan Senopati memanggil Demang
Tapanangkil untuk membawa jenasahnya keluar keraton. Jadi kalau kuburan
Angabaya III yang ada di KOta Gede, separo didalam dan separo diluar itu
sungguhan atau tidak kami ngga tahu.
Setelah Pembayun menjadi janda, ia hidup sebagai putri triman yang
artinya hidup di luar keraton dan dalam keadaan hamil ia dikawinkan
dengan Tumenggung Teposono putra Ki Ageng Karang Elo. Tumenggung
Teposono setelah menjadi menantu Panembahan Senopati diberi wasiat agar
kelak bayi lahir untuk dibunuh supaya tidak menjadi duri dalam daging
untuk masa depan kerajaan Mataram. Setelah Pembayun melahirkan jabang
bayi laki laki ibunya langsung meninggal dunia ( Sedo Konduran ), dan Ki
Ageng Lo tidak tega untuk membunuh bayi yang tidak berdosa.
Maka bayi tersebut dibawa oleh Ki Ageng ke arah Barat sampai ke Tlatah
Banyumas ( Kebumen ) dan diberi nama MADUSENO, sedang yang dikubur
adalah ari arinya.